Perlindungan Kebebasan Berekspresi Seniman dan Kesadaran Terhadap Kekerasan Berbasis Gender Online

#KBGO,

Novi Haryono
20 Min Read
Pic. by Pinterest

“Aku di-bully, dihujat, sampai beberapa public figure ikut-ikutan mengatai aku gila. Aku nge-lock akun Instagram. Aku jadi takut banget sama komentar-komentar orang di luar sana. Banyak banget yang nyumpah-nyumpahin aku. Nomor WhatsApp-ku bocor dan aku menerima banyak makian dari orang-orang yang nggak aku kenal. Ada yang terus nge-screenshoot foto-foto keluargaku, disebar di internet, sampai akhirnya di jalanan orang bisa mengenali aku. Terus, ada juga yang membuat skripsi tentang karyaku tetapi nggak pernah sama sekali menghubungi aku untuk wawancara. Aku juga dihujat oleh salah satu menteri. Aku dijemput oleh Polda Cyber Crime untuk kasus UU ITE dan Polres Jaksel. Dari situ selama proses setahunan aku bolak-balik ke polisi untuk menjelaskan kasus itu, karena mereka baru dengan UU ITE. Aku jadi sampai takut setiap kali mendengar suara motor dan mobil yang lewat depan rumah, berpikir itu polisi. Efeknya masih sampai sekarang.” – NT seorang seniman perempuan yang sempat menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) akibat karyanya.

***

Pada tahun 2017, NT (inisial) berada di bawah pengawasan dan pengintaian oleh kepolisian nasional akibat kontroversi dari karya performatifnya, ‘Makan Mayit’, yang dianggap oleh netizen sebagai tindakan tidak senonoh dan melanggar norma sosial dan moral di Indonesia. Setelah itu, ia dikecam secara publik oleh salah satu menteri di Indonesia. Ia diselidiki oleh kepolisian setempat serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) selama tiga bulan dan hampir dikriminalisasi berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang problematik. Selain itu, ia juga diminta oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kepolisian Nasional untuk menjalani beberapa tes psikologis, sementara beberapa netizen di media sosial men-doxxing informasi pribadinya dan melakukan perundungan siber. NT kemudian dibantu oleh Safenet, LBH Pers, LBH Jakarta, juga dari pengacara sesama Kawanua Minahasa yaitu Fabian Buddy Pascoal dan Ita Fatia Nadia. Kala itu, ia harus menandatangani 40 surat perwakilan untuk dijadikan studi kasus oleh LBH dan Safenet. Meskipun sekarang NT merasa aman, tapi sejak saat itu ia lebih banyak melakukan sensor diri dan selalu khawatir dengan sifat karyanya ketika dipresentasikan atau ditampilkan di Indonesia.

Makan Mayit (atau Pesta Daging dalam terjemahan langsung ke Bahasa Inggris) adalah sebuah karya yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2017. Ini adalah sebuah pertunjukan makan malam di mana para peserta berkumpul di meja makan dan disajikan menu makanan ‘kanibal’ yang aneh dan ganjil. Karya ini mengeksplorasi gagasan tentang rasa takut melalui serangkaian acara makan bersama di mana para peserta diizinkan untuk mendiskusikan sejarah kanibalisme dan bagaimana mereka berhubungan dengan ide tersebut, sambil mempertanyakan konstruksi moral yang mengawasi kehidupan manusia.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan lewat pesan singkat WhatsApp, NT menjelaskan bahwa ia adalah orang yang penakut, tapi ia tertarik untuk mengeksplorasi bagaimana rasa takutnya dibentuk. Mungkin bentuk ketakutan yang paling sederhana, yaitu hal-hal yang janggal dengan kesehariannya.

“Kalau kata H.P. Lovecraft yaitu ‘Fear of the Unknown’, hal-hal yang di luar kebiasaan, terlihat mengancam keberadaan kita, menyakiti kita, padahal sebenarnya yang kita miliki hanyalah spekulasi saja, tidak memiliki entitas yang jelas. Ya, seperti halnya perihal berbicara di depan umum, saya nggak tau ancaman apa yang ada tapi saya merasa seram,” kata NT.

Berhubungan dengan ketertarikannya, apakah rasa takut itu dimanifestasikan untuk membuat ketakutan baru bagi orang lain, untuk menutupi serta mengontrol. Mengapa rasa takut itu ada dalam hampir setiap manusia? Apa yang memicunya? Bagaimana ia timbul dan tenggelam? Ada kecurigaan – bagaimana jika rasa takut itu tidak hanya muncul secara alamiah, misalnya dipicu oleh hormon-hormon tertentu, tapi juga rasa takut timbul karena dibangun, dibentuk, dan dikonstruksi terus-menerus oleh sesuatu yang sifatnya eksternal dari tubuh, norma misalnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian menjadi bahan diskusi tentang bagaimana jika manusia bisa bertahan dengan resource mereka sendiri, seperti misalnya dengan meminum air mata, makan bayi, atau makan rambut, dsb. Gagasan ini kemudian dituangkan dalam makanan seperti cupcake yang berbentuk otak manusia, minuman anak-anak yang bentuknya seperti infus, kantong asi tapi isinya sup tom kagai—warnanya putih karena memakai santan, dll. Kemudian pada saat tamu-tamu makan, di situ proses teatrikalnya dimulai.

“Tapi sebenarnya makanan-makanan itu seperti makanan halloween buat ngobrol-ngobrol aja sama pesertanya. Jadi, ini, kan, performance dinner, selain yang nge-host menjadi performer, penonton juga jadi performer,” terang NT.

Makanan disajikan oleh chef per sesi, kemudian NT mencoba menjadikan menu makanan sebagai basis dramaturgi. Kala itu, sebagai host, ia memantik para peserta perjamuan dengan diskusi soal colonial gaze₁, cannibalism₂, endocannibalism₃, moral compass₄, dan apakah manusia bisa berdiri tanpa memakan makhluk lain, hewan atau tumbuhan, dan pertanyaan kenapa manusia minum susu dari makhluk lain—satu-satunya makhluk yang minum dari makhluk lain. Ide-ide soal anthropocentrisme₅.

“Hal ini sebenarnya merupakan refleksi atas keberadaan manusia sebagai makhluk yang katanya superior,” lanjutnya.

Performance dinner yang digelar secara tertutup itu berjalan dengan baik. Namun, NT tidak aware, pertunjukannya akan menjadi bumerang untuknya di kemudian hari. Ia mengakui ketika itu ia tidak memiliki kesadaran untuk melarang para peserta mengambil foto dan mempostingnya ke sosial media. Dari antara 15 peserta makan malam yang hadir, salah seorang public figure sempat mengambil foto dan mempostingnya ke Instagram, lalu menjadi viral sebulan setelahnya. Sayangnya, beberapa media yang tidak bertanggung jawab justru yang menjadikan performance dinner tersebut menjadi kontroversi dengan membuat headline yang menuai kontroversi.

“Hanya saja pada tahun itu aku belum punya kesadaran untuk melarang orang buat posting. Sebenarnya gak masalah, sih. Menge-post karya di sebuah pameran adalah salah satu bentuk apresiasi dari audiens. Kebetulan salah satu audiensnya adalah seorang public figure. Mereka menge-post di Instagram kemudian jadi viral. Viralnya itu karena masuk di media yang tidak bertanggung jawab, dengan headline, ‘Makanan yang Dipesan oleh Pacar Kinan Menuai Kontroversi’, padahal sebenarnya gara-gara itu akhirnya jadi kontroversi,” jelas NT.

Riane Elean, dalam perspektifnya sebagai seorang penggiat seni dan aktivis perempuan, memandang bahwa melalui karyanya NT mempertanyakan asal-usul hasrat kanibalisme. NT menyebut acara berjudul ‘Makan Mayit’ ini bertujuan untuk mengeksplorasi ‘psikodinamika dari fantasi kanibal’, bagaimana peran motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya dalam perilaku manusia, bagaimana manusia sebagai mahluk yang didorong oleh berbagai dorongan dan konflik yang terjadi di alam bawah sadar.

“Seni memang bisa menjadi media berekspresi secara merdeka. Dalam ruang dan/ atau karya seninya, seniman mengekspresikan kebebasannya dalam mengeluarkan pikiran, mengulik sisi-sisi terdalam dari perasaan, luapan emosi, sedih, amarah, atau senang. Melalui karyanya seniman menafsir dan merekonstruksi bahkan mengkritik realitas,” kata Elean. “Namun, kemudian karya seni mulai menemukan batasnya begitu ia berhadap-hadapan dengan nilai-nilai masyarakat, ketika ia diwajibkan untuk menjawab ataupun menjadi cermin persoalan moral/ etika masyarakat. Di sinilah seni menjadi tidak bebas nilai.”

Elean menjelaskan, seperti halnya ‘Makan Mayit’, NT dikritik karena menampilkan aksi yang dinilai sebagai kanibalisme vulgar. Pendapat para kritikus, atraksi ini pun ketika ia diabadikan dalam foto ataupun video – turut melanggengkan kekerasan, menjadi karya yang mengancam pola perilaku masyarakat. Sang seniman menerima cyberbullying pasca karya seninya viral di media sosial. Kekerasan online semacam ini berdampak pada kesehatan mental seperti trauma, kecemasan bahkan depresi, apalagi karena ini terjadi secara online, maka jejak digital akan terus ada dan bisa memicu trauma secara berulang.

Dari sisi yang berbeda, Elean melihat karya ini direspons positif. Mereka yang pro kemudian menilai karya seni ini hendak menegaskan bahwa kanibalisme masih terjadi, kekerasan masih menjadi realitas yang kerap ada. Justru karya NT menjadi kritik terhadap aksi-aksi serupa.

“Belajar dari kasus ini, kekerasan online bukan hanya persoalan individu, tetapi juga persoalan sosial yang memerlukan respons komprehensif. Edukasi perlu terus dilakukan untuk meminimalisirnya. Edukasi tentang keamanan data pribadi, termasuk risiko-risiko jika konten-konten tertentu terunggah menjadi konsumsi publik juga perlu dilakukan, termasuk edukasi tentang dampak-dampak kekerasan yang sangat destruktif bagi korban maupun masyarakat,” terang Elean.

“Belajar dari karya seni ini, pada akhirnya individu menjadi subjek yang secara aktif berefleksi, menemukan makna dan pesan dari semua simbol, kemudian mengkonstruksinya menjadi sikap-sikap humanis yang harus menghidupkan. Dari ‘Makan Mayit’ kita melakukan introspeksi dan retrospeksi, menganalisis faktor-faktor penyebab mengapa praktik-praktik kekerasan masih sering terjadi, dan yang sering menjadi korban adalah kelompok ataupun individu rentan, seperti perempuan dan anak,” tambahnya.

Hal senada diungkapkan oleh seorang dosen dari Institut Agama Kristen Negeri Manado (IAKN), Denni Pinontoan, bahwa dalam hal ini, analisisnya tentu harus diletakkan pada posisi ‘Makan mayit’ sebagai karya seni yang selalu berkaitan dengan simbol dan pesan yang mau disampaikan.

“Unsur atau elemen-elemen yang ditampilkan maksudnya terutama sebagai simbol untuk menyampaikan pesan, entah itu kritik terhadap realitas sosial atau makna mengenai sesuatu hal,” kata Pinontoan.

Bagi Pinontoan dalam perspektifnya sebagai seorang akademisi, memandang bahwa, dalam dunia seni, kebebasan berekspresi adalah sesuatu yang penting. Seorang seniman yang menampikan karyanya tentu juga memahami etika dan batas-batas kebebasan tersebut. Namun, pada penonton atau masyarakat secara umum juga mesti memiliki kemampuan apresiasi seni. Jika tidak, maka karya seni apa pun akan dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dunia berkesenian. Publik netizen atau umum mesti memahami secara proposional kedudukan dan bentuk karya tersebut sebagai produk berkesenian.

“Memang satu persoalan besar di era digital sekarang adalah reaksi publik yang dimediasi oleh teknologi digital, seperti medsos yang pada akhirnya membuat kritik menjadi tidak produktif dan etis. Kebebasan berkarya di dunia seni mesti memiliki jaminan perlindungan kebebasan. Kurator dan komunitas seni mestinya yang lebih aktif untuk melakukan perlindungan. Masyarakat umum sebagai penikmat seni tidak semua memiliki pengetahuan atau wawasan berkesenian,” pungkasnya.

Sementara itu, sebagai seorang yang terlibat langsung dengan kasus-kasus yang dihadapi oleh Perempuan dan Anak di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Minahasa, Ireine Rumagit, melihat apa yang dialami NT dan perempuan-perempuan di luar sana dari sisi kekerasan online ini, berpotensi memberi dampak psikologis berupa stres dan kecemasan kronis, depresi dan perasaan putus asa, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), isolasi sosial dan kesepian, hingga ke risiko bunuh diri.

Rumagit mengimbau bagi para perempuan dan siapa saja yang tengah mengalami dampak dari kekerasan online ini, mau membuka diri untuk mencari dukungan dari orang terdekat (keluarga dan teman), melaporkan ke pihak berwajib jika melibatkan ancaman serius, mengurangi waktu online atau mengambil jeda dari media sosial, menulis jurnal atau ekespresi kereatif sebagai katarsis, dan bergabung dengan komunitas atau grup pendukung online.

“Penting untuk diingat bahwa setiap korban memiliki pengalaman unik dan memerlukan pendekatan yang disesuaikan. KBGO adalah masalah kompleks yang membutuhkan respons multifaset dari berbagai sektor masyarakat,” kata Rumagit.

Rumagit berpendapat bahwa pendekatan holistik bisa menciptakan lingkungan online yang lebih aman. Dengan mengatasi masalah dari berbagai sudut pendidikan, teknologi, hukum, dan sosial, diharapkan dapat mengurangi prevalensi kekerasan online dan memberikan dukungan yang lebih baik bagi korban.

Pada akhirnya, NT belajar bagaimana berdampingan dengan trauma dan penyakit mental, meskipun diakuinya itu bukan perkara mudah. Namun, dukungan penuh dari orang tuanya membuat ia terus maju untuk berkarya. Dikatakannya, karya-karya yang ia buat, juga prestasi-prestasi yang ia raih baik di dalam maupun luar negeri semenjak peristiwa itu hingga kini, merupakan wujud terima kasihnya kepada orang tua, teman-teman, LBH dan tim Advokad, juga institusi-institusi yang mendukungnya. Dalam kesempatan ini, NT berharap semoga museum-museum dan institusi seni di Indonesia bisa lebih membimbing para seniman, sementara advokasi dan literasi hukum bisa diakses dengan mudah.

Kisah NT adalah contoh nyata dari dampak negatif KBGO terhadap seorang seniman dan karyanya. Konfrontasi, intimidasi, dan persekusi yang ia alami memaksanya untuk mengalami tekanan mental yang serius. Dalam hal ini, menjadi jelas betapa pentingnya perlindungan terhadap kebebasan berekspresi bagi seniman, sementara pendidikan masyarakat dalam menanggapi karya seni juga merupakan hal yang krusial.

Karya seni seharusnya dihargai sebagai ekspresi merdeka, tetapi juga harus diapresiasi dengan kesadaran moral dan etika. Ini menuntut adanya pemahaman yang proporsional terhadap karya seni dan pengetahuan tentang konteks seni. Perlindungan terhadap kebebasan seni juga menjadi penting, dan kurator serta komunitas seni harus aktif dalam menjaga hal ini.

Selain itu, dalam kasus NT, pendidikan tentang keamanan data pribadi dan risiko-risiko yang terkait dengan konsumsi konten di media sosial juga harus ditingkatkan. Kekerasan online bukanlah hanya masalah individu, tetapi juga menjadi isu sosial yang memerlukan respons komprehensif serta edukasi yang terus-menerus dilakukan.

Terakhir, penting untuk mengakui pentingnya dukungan dari orang-orang terdekat dalam melewati trauma dan penyakit mental. Dukungan ini sangat krusial bagi korban KBGO, dan invisi politik dan hukum seni juga harus ditingkatkan untuk melindungi kebebasan berekspresi seniman.

[i]

  1. Colonial gaze merujuk pada kerangka kognitif yang membedakan posisi orang yang melihat dan orang yang dilihat. Biasanya digunakan dalam konteks kolonisasi, di mana kelompok kolonisasi memandang kelompok yang dikuasai sebagai kurang berkembang dan kurang berdaya, sehingga membenarkan perlakuan buruk terhadap mereka.
  2. Cannibalism adalah tindakan memakan daging manusia oleh manusia.
  3. Endocannibalism: Memakan daging anggota kelompok sendiri, sering kali dalam konteks upacara keagamaan atau tradisi.
  4. Moral compass mengacu pada pandangan individu tentang apa yang benar dan salah. Ini mencakup nilai-nilai, etika, dan prinsip-prinsip yang membimbing perilaku seseorang.
  5. Anthropocentrisme adalah pandangan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat segala-galanya.
Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *