Keterbatasan Bukanlah Halangan

#Fidelisdanielmenajang, #disabilitas,

Novi Haryono
16 Min Read

Aku begitu gembira ketika mengetahui janin yang berada dalam kandungan istriku, Viane Tumilaar, berjenis kelamin laki-laki. Aku mulai membayangkan, kelak akan kuajarkan dia bermain badminton. Akan kujadikan dia seorang atlet.

Air mataku seketika menetes satu per satu. Kupandangi kedua bola matanya yang sedang menatapku. Sesekali dia tersenyum, sesekali dia mengoceh dengan ocehan yang tidak kupahami bahasanya. Air mataku semakin tidak terbendung, membasahi kedua pipiku hingga jatuh ke atas kain yang membungkus anakku. Anak yang divonis dokter hanya akan bertahan dua minggu ini sedang terbaring di atas lenganku.

“Nak, seperti apa pun adanya dirimu, aku ayahmu, dan tentu saja ibumu, akan selalu ada untukmu, dan kami tidak akan pernah membiarkanmu terluka. Kamu akan menjadi kepala, bukan ekor,” bisikku padanya sembari mengayun-ayunkan tubuh kecilnya hingga dia jatuh lelap.

Kenangan sepuluh tahun silam seketika berkelebat dalam kepalaku ketika melihat dia yang seakan lahir tanpa harapan hidup itu kini sedang berdiri gagah di atas panggung dengan begitu percaya diri. Dia memang memiliki keterbatasan fisik, tetapi kepercayaan dirinya tidak bisa diragukan lagi. Tepuk tangan membahana selepas dia membacakan cerpen yang ditulisnya. Sementara aku… hanya bisa berdiri di sudut ruangan, berusaha menahan agar bulir-bulir yang tertampung di pelupuk mata ini tidak terjatuh, bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal.

 

Kelahiran

Tanggal 14 Maret 2014 istriku dilarikan ke RS. Gunung Maria Tomohon setelah mendapatkan surat rujukan dari Puskesmas Sonder. Janin yang berada dalam posisi sungsang, ditambah kondisi istriku yang sebelumnya sempat divonis dokter menderita epilepsi mengharuskan dia untuk dioperasi. Harap-harap cemas aku menunggu di luar ruang operasi, hingga akhirnya seorang perawat keluar dengan menggendong anak lelakiku.

Seperti ada godam yang dihantam keras ke jantungku. Aku tidak lagi merasakan kekuatan di kakiku. Tubuhku lunglai. Kesadaranku hilang seketika. Aku pingsan selepas melihat kondisi anakku. Tubuhnya berwarna ungu mulai dari dagu hingga ujung kaki. Tampak butiran-butiran obat menempel di seluruh tubuhnya. Obat-obatan yang dikonsumsi istriku ternyata tidak diserap baik oleh tubuhnya, malah mempengaruhi kondisi janin yang sedang tumbuh di rahimnya.

Fidelis Daniel Menajang nama yang kusematkan pada anakku, mengikuti namaku Michael Menajang. Dia lahir dengan kondisi kedua kaki menyilang ke bahu. Dia tidak memiliki siku sehingga kedua lengannya tidak bisa ditekuk. Pergelangan tangannya pun bengkok. Dia langsung dimasukkan ke dalam inkubator untuk dirawat. Kondisi ini tidak diberitahukan kepada istriku demi menjaga kondisinya pasca melahirkan. Namun, di hari keempat, istriku memaksa untuk melihat bayinya.

“Dok, seperti apa pun keadaannya, namanya dia anakku, dia tetap anakku. Tolong bawa dia ke sini.” Begitu kata istriku memaksa.

Sempat ada penyesalan antara aku dan istriku. Keputusan yang kami ambil untuk mempertahankan janin dalam kandungan istriku ternyata risikonya harus ditanggung anakku seumur hidupnya. Kala itu dokter kandungan sempat memberi pertimbangan apakah janin akan dipertahankan atau tidak. Taruhannya adalah nyawa istriku atau anakku. Dan, kalaupun janinnya akan bertahan, dia akan lahir dalam keadaan cacat. Akan tetapi, orang tua mana yang tega membunuh darah dagingnya sendiri? Pada akhirnya kami menyadari anak ini adalah berkat untuk keluarga kami.

Di dalam inkubator posisi kaki Fidelis dibiarkan tetap menyilang ke bahu, sehingga ketika diserahkan, mertuaku mencoba meluruskan tangan dan kakinya ke bawah, membungkusnya dengan kain. Dokter sampai keheranan, bagaimana caranya kaki yang terlipat ke atas ini bisa lurus ke bawah. Bisa dibilang, kasih yang tulus dari keluarga mendatangkan mujizat. Secara medis mungkin itu tidak diperkenankan, tetapi hikmat itu diberikan kepada orang-orang yang menyayangi Fidelis.

Dalam proses pertumbuhannya, Fidelis lebih sering melakukan segala sesuatu menggunakan kaki, termasuk saat memasukkan makanan ke mulut. Baginya ketika itu, menyuap dengan kaki terasa lebih mudah dibandingkan dengan tangan. Namun, perlahan-lahan dia mulai belajar membiasakan diri menggunakan kedua tangannya. Fidelis bertumbuh dengan sangat mandiri. Dalam keterbatasannya dia mampu melakukan banyak hal tanpa meminta bantuan orang lain.

Fidelis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara yang hadir dalam kondisi ibunya tengah sakit dan harus bolak-balik rumah sakit akibat diagnosis awal sebagai penderita epilepsi yang kemudian diketahui bukanlah epilepsi tetapi tumor otak.

 

Dukungan Orang Tua

Pagi itu sepulang dari sekolah minggu, Fidelis masuk rumah dalam keadaan kepala tertekuk. Wajahnya terlihat seperti akan menangis. Setelah memberi salam kepada orang-orang rumah, lekas-lekas dia masuk kamar. Di dalam kamar tangisannya pecah.

“Tuhan, kenapa kondisi Fidel seperti ini?” Suaranya terdengar begitu lirih.

Selama ini Fidelis berusaha untuk terlihat tegar saat mengalami perundungan, baik dari anak-anak seusianya maupun dari orang dewasa. Ketika sedang mengikuti Sekolah Minggu, mata anak-anak kerap tertuju pada tangan dan kaki Fidelis. Tidak jarang anak-anak itu mengejeknya. Bahkan, orang dewasa pun tidak segan memanggilnya tangan bengkok, pincang/ kento’. Pertahanan Fidelis yang selalu berusaha tegar akhirnya runtuh juga. Dia mempertanyakan keberadaannya kepada Tuhan.

Rasa haru dan sesak seketika merambati dada kami. Aku lihat istriku mulai berurai air mata. Dari tempatnya duduk, dia menyusul Fidelis ke kamar. Dipeluknya Fidelis dengan sangat erat. Diusap-usapnya punggung anak itu. Dibiarkan Fidelis menangis di dadanya.

“Fidelis, dengar ini,” kata istriku, “dibanding anak-anak lainnya, justru Fidelis yang lebih sempurna. Mereka tidak bisa melakukan apa yang bisa Fidel lakukan. Fidel mampu melakukan segala sesuatu dalam keterbatasan. Dan, Fidel adalah berkat Tuhan untuk Mama, Papa, dan kakak-kakak.”

“Tapi, kenapa Fidelis tidak seperti teman-teman lainnya, Ma?” tanya Fidelis terbata-bata dengan air mata yang terus membasahi pipinya.

“Tidak apa-apa. Di mata Tuhan Fidel itu sempurna. Bukan apa yang dilihat manusia, tetapi apa yang dilihat Tuhan. Yang terpenting, Fidel mampu menerima keberadaan Fidel sendiri, bersyukur dengan keberadaannya Fidel, dan boleh menjadi anak kebanggaan.”

Dari ambang pintu, aku bergeming. Bagaimana cara dunia melihat dan memperlakukan anakku bukanlah sesuatu yang mudah dihadapi.

Istriku yang adalah seorang Pelayan Khusus di Gereja GMIM Baitlahim Kauneran, tidak tinggal diam ketika melihat anak kami kecewa pada teman-teman sekolah minggu. Dia tidak membiarkan anak kami merasa rendah diri. Dia berusaha memberikan panggung untuk Fidelis tampil setiap kali ada kesempatan. Fidelis disuruh maju bernyanyi di hadapan jemaat. Fidelis diikutsertakan dalam lomba-lomba menyanyi di gereja, hingga dia boleh tampil sebagai pemenang. Tidak ada yang boleh merendahkan anak kami karena sejatinya semua manusia itu sama, bagaimanapun keberadaan dirinya.

 

Dukungan dari Sekolah

Sempat ada penolakan ketika awal kami mendaftarkan Fidelis ke SD GMIM Sonder. Kekhawatiran Kepala Sekolah, Trees Lebe, yang dirasa belum memiliki pengalaman menghadapi murid dengan keterbatasan fisik, menyarankan Fidelis untuk bersekolah di SLB. Sayangnya, kondisi kami yang hanya sebagai petani tidak memungkinkan utuk Fidelis bersekolah di SLB yang terletak sekitar 20-24 km jauhnya dari rumah. Selain itu, kemampuan berpikir Fidelis tidak berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Bahkan, bisa dibilang kedewasaannya melampaui usianya. Kami lalu mencoba membujuk kepala sekolah agar mau menerima Fidelis.

Hal ini seolah menjadi tantangan buat kepala sekolah dan guru-guru, bahwa sekolah swasta yang berada di bawah naungan Sinode GMIM itu menerima murid dari berbagai kalangan dan keterbatasan.

Awal Fidelis masuk sekolah, aku kerap mengantar dan menungguinya beberapa jenak di depan kelas. Aku bisa melihat bagaimana kepala sekolah dan guru-guru memperlakukannya. Mereka tidak menjadikan Fidelis sebagai murid yang harus dikasihani, tetapi memperlakukannya sama seperti kepada murid-murid yang lain. Murid-murid yang ada pun diajarkan supaya tidak melihat Fidelis sebagai pribadi yang memiliki kekurangan, tetapi mereka semua sama dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, meskipun dalam beberapa hal Fidelis mendapatkan perlakuan khusus sesuai keberadaan fisiknya. Namun, Fidelis tahu sampai di mana batas kemampuannya. Dia sering meyakinkan kepala sekolah dan guru-gurunya, bahwa dia mampu melakukan seperti apa yang dilakukan murid-murid di sekolah itu. Dia bisa membersihkan kelas, mencabut rumput, berdiri lama saat upacara bendera, berjalan jauh saat pawai tujuh belasan, dan beberapa permainan olah raga.

Pernah, Fidelis bercerita kepada Kepala Sekolah. Dia menyadari keberadaan dirinya yang berbeda dibandingkan murid-murid yang ada di sekolah itu.

“Ibu, Fidelis tahu, Fidelis ini cacat. Fidelis tidak memiliki tubuh yang sempurna. Fidelis tidak memiliki kaki dan tangan seperti teman-teman lainnya,” kata Fidelis.

“Oh, siapa bilang Fidelis tidak sempurna?” sanggah kepala sekolah seketika itu juga, “semua manusia itu sama, memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan Fidelis…, Fidelis anak yang rajin, mau terlibat di kegiatan-kegiatan sekolah, dan dengan tangan yang kata Fidelis tidak sempurna itu, Fidelis bisa menulis dengan indah dan rapi.”

Anak-anak memang diajarkan terbuka kepada guru-guru dan kepala sekolah. Mereka bebas bercerita apa pun. Guru-guru dan kepala sekolah menjadi orang tua kedua bagi Fidelis dan murid-murid lainnya, sehingga kami tidak merasa menyesal pernah memaksa Kepala Sekolah untuk mau menerima Fidelis di sekolah ini.

 

Epilog

Jarum jam berdetak dari detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke bulan, dan bulan ke tahun. Anak yang pernah hidup dan bekembang dalam air ketuban dan butiran obat-obatan ini kini mulai beranjak remaja dan memiliki keinginan untuk menyenangkan orang tua. Banyak peristiwa yang membuat dada ini terasa sesak karena kekaguman padanya. Seperti hari di mana dia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Kemah Cerpen 2024 di Hotel Grand Whiz Manado yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Sulawesi Utara (Sulut).

Di hadapan para peserta Kemah Cerpen yang datang dari beberapa Kabupaten di Sulut ini, Fidelis berdiri membacakan cerpen yang ditulisnya. Aku tahu, dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk berada di hadapan orang-orang yang tidak dia kenal, sebab semua pasang mata pasti akan tertuju padanya. Ada yang terlihat fokus pada kakinya yang tidak bisa berdiri tegak, ada yang fokus ke tangannya yang tidak bisa menggenggam kertas dengan benar, tetapi tidak sedikit pula yang fokus mendengar ceritanya. Sebuah cerita yang diangkat dari kisah kesehariannya berjualan kue, membantu orang tua mengumpulkan serupiah dua untuk biaya hidup sehari-hari.

Kulihat istriku dan kepala sekolah yang berdiri di sampingku mulai mengusap sudut-sudut mata mereka. Aku pun tidak ketinggalan. Bukan… Bukan aku yang cengeng. Bukan kami yang cengeng. Tetapi kebanggaan terhadap Fidelis tidak mampu membuat sudut-sudut mata ini untuk tidak basah, lebih-lebih saat mengingat apa yang pernah dikatakannya.

“Ma… Pa… Fidelis tahu kita ini orang susah. Orang kurang mampu. Tetapi, kalau sampai Fidelis bisa memenangkan lomba menulis cerpen dan mendapatkan hadiah, dengan hadiah itu Fidelis akan membantu mama dan papa membangun rumah, supaya tidak ada lagi loyang-loyang yang harus ditadah untuk menampung tetasan air hujan,” kata Fidelis.

TAGGED: ,
Share This Article