Nona Viyi sudah kelas 8 di SMP Katolik Stella Maris Tomohon. Usianya sebentar lagi 14 tahun. Kendati demikian, tinggi badannya masih sama seperti anak TK. Ia memang mengidap kelaianan pertumbuhan yang disebut achondroplasia, di mana tulang-tulangnya tidak bertumbuh maksimal. Bentuk tubuhnya tidak proporsional. Tangan dan kakinya pendek. Ia tidak memiliki tulang rawan. Ruang dadanya pun sempit. Namun, kelainan pertumbuhannya itu tidak berpengaruh pada kecerdasannya.
Jumat (05/04), ia menerima hasil ujian asesmen tengah semester. Nilainya rata-rata 90-an. Seperti biasa, ia unggul di mata pelajaran Bahasa Inggris dengan nilai 98, disusul IPA 97. Sayangnya Matematika hanya mendapatkan nilai 85 dan PJOK adalah yang paling rendah. Kata wali kelasnya, nilai-nilai tersebut merupakan nilai murni, yang artinya hanya diambil dari hasil ujian yang tidak ditambahkan dengan nilai tugas dan lainnya. Secara keseluruhan, ia masih menjadi salah satu murid terbaik di kelasnya.
Sebagai orang tua, saya tidak pernah menuntut Nona Viyi harus memiliki nilai sempurnya di semua mata pelajaran. Sejak awal ia bersekolah, saya haya menginginkan satu hal: ia bersekolah dengan bahagia.
Pada saat penerimaan rapor, sempat terjadi percakapan singkat antara saya, Nona Viyi dengan wali kelasnya, Yunita Langitan. Saya ikut-ikutan memanggilanya “Ma’am” seperti yang dilakukan murid-murid di sekolah. Itu adalah panggilan khusus untuk guru Bahasa Inggris perempuan. Persis yang Ma’am katakan ketika saya mewawancarainya untuk tulisan di sebuah majalah lokal, katanya, dibandingkan saat Nona Viyi baru masuk di kelas 7 dengan ketika ia berada di kelas 8, tampak perubahan yang sangat signifikan dari kepribadiannya.
“Dulu, meskipun dia bisa tampil di depan banyak orang, mar masih dapa lia dia pe ndak percaya diri, bahkan waktu itu langsung ja muncul dia pe bentol gatal-gatal. Skarang… mo tampil di manapun, dia pe bentol gatal-gatal itu so ndak ja muncul. Dia so bisa menari-menari di atas panggung, so supel, so ndak pamalo, ba jalang le so ndak mamaruku,” kata Ma’am Yunita. “Di dalam kelas pun dia mampu mengontrol de pe diri. Kalo pas ndak ada guru, dia pe teman-teman sibuk ba ribut, dia malah sibuk ba tulis ato ba gambar. Dia ndak terpengaruh for mo baku-baku iko ba ribut rupa depe teman-teman,” lanjutnya.
Ma’am Yunita lalu bertanya balik apakah hasil pengamatannya itu sesuai dengan yang Nona Viyi rasakan. Nona Viyi sempat bingung bagaimana menjawab pertanyaan wali kelasnya itu. Ia lalu mengaku bahwa ia sering overthinking.
“Overthinking gimana, Vi?” tanya Ma’am Yunita.
“Viyi suka merasa kalo masih ada teman-teman yang bercerita di belakang Viyi terkait kekurangan Viyi,” jawab Nona Viyi.
Dengan bijak, Ma’am Yunita menjelaskan bahwa bisa saja itu hanya perasaan Nova Viyi, karena yang ia lihat selama ini, murid-murid, baik adik kelas, kakak kelas, maupun teman seangkatan malah sungkan terhadapnya, bahkan mereka minder karena kemampuan Nona Viyi dalam berbahasa Inggris sudah di atas rata-rata.
Saya pun melihat demikian. Awal-awal saya mengantar-jemput Nona Viyi di sekolah, seakan tidak ada yang peduli dengan keberadaannya. Bahkan pernah beberapa kali saya melihat ada murid yang mengejeknya terang-terangan. Nona Viyi pernah menangis-nangis meminta saya untuk memindahkan ia ke sekolah lain. Namun, dukungan dari Kepala Sekolah, Yoyo Prasetyo, bersama wali kelas dan guru-guru yang ada membuat kondisi itu berubah. Nona Viyi diberikan panggung untuk berpuisi, berpidato, bermain biola di depan murid-murid, bahkan di depan tamu-tamu sekolah. Kekaguman terhadap Nona Viyi muncul satu per satu. Rasa percaya dirinya pun meningkat perlahan-lahan, hingga akhirnya ia bisa berdiri menunjukkan, “Ini, loh, saya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang saya miliki. I am special and limited edition.”
Beberapa murid pernah mengaku bahwa Nona Viyi adalah idolah mereka. Setiap kali menjemputnya pulang sekolah, saya lihat ada saja yang menyapa, entah itu adik kelasnya, kakak kelasnya, atau teman seangkatannya. Ia pun kerap bercerita tentang tingkah teman-temannya yang suka mencandainya di dalam angkot.
“Teman-temannya Viyi yang biasa naik angkot sama-sama, lucu-lucu. Mereka suka bikin Viyi tertawa, apalagi saat sudah mulai mengantuk,” kata Nona Viyi dengan senyumnya yang mengembang.
Jika ditarik sebuah kesimpulan, overtihinking yang Nona Viyi maksud hanyalah sebuah komunikasi yang tidak tersampaikan. Baik ia maupun murid-murid yang ada di sana mengalami kecanggungan antara satu dengan lainnya, padahal mereka sama-sama saling mengagumi. (Novi)